Birthday Ride: Tour de Bandung 3D2N - The Preparation

Finally I have some alone time so I decided to write something here. 😌

Sejujurnya mulai nulis lagi di sini bukan hal yang mudah. Karena belakangan saya jadi sering mempertimbangkan ulang soal boundaries. Apa yang sebaiknya di-share dan apa yang sebaiknya disimpan. Meskipun saya tahu apa yang ingin saya share mungkin berguna bagi orang lain, tapi jika hal itu sedikit banyak mengganggu privasi saya ada baiknya saya hold dulu. That's why ada banyak draft yang nggak jadi saya posting karena berbagai macam pertimbangan itu.

Tapi kalau nggak nulis-nulis, kepala saya pusing juga ternyata. 😌 Setelah mempertimbangkan beberapa hal, saya memutuskan mau cerita soal perjalanan saya dan suami merayakan ulang tahun saya beberapa bulan lalu. Iya, postingan ini bener-bener latepost. Hehehe... Tapi saya pengen aja cerita di sini karena itu salah satu pencapaian besar bagi saya pribadi. Terserah kalau bagi orang lain mungkin biasa saja.

Jadi, semenjak menyandang status sebagai pandemic cyclist alias orang yang baru mulai hobi bersepeda gara-gara pandemi sejak tahun 2021, saya jadi punya kesibukan setiap minggu. Apalagi kalau bukan sepedaan, hehe. Saya bahkan bergabung dengan komunitas pesepeda wanita yang bernama Lady Cyclist Bogor (LCB). Punya suami yang lumayan ambisius bersepeda dan dikelilingi oleh para cyclist wanita yang juga nggak kalah strong, bikin saya termotivasi untuk terus latihan demi upgrade stamina dan endurance.

Final bike setup untuk Tour de Bandung

Long story short, setelah rutin bersepeda selama hampir 2 tahun dan sudah menjajal berbagai macam rute bersepeda di Bogor dengan berbagai elevasi, suami meyakinkan kalau saya sudah siap untuk naik kelas. Sebagai catatan, suami saya tentu saja sudah jauh lebih dulu melanglang buana bersama rekan-rekan komunitasnya. Sebelum dia berani mengajak saya bersepeda antarkota, dia sudah lebih dulu menjajal rute yang sama lewat event Jakarta-Bandung-Jakarta pada tahun 2022 yang diadakan oleh Bea Cukai.

Untuk mengimbangi stamina suami saya yang memang sudah beda level, saya harus latihan fisik sejak beberapa bulan sebelum keberangkatan. Pada saat itu saya memang sedang program menurunkan berat badan. Berkat program latihan yang diatur oleh suami, saya juga berhasil menghempas sekitar 13 kilogram. Latihannya apa saja? Dalam seminggu minimal saya harus lari 10-15 km yang biasanya saya bagi ke dalam 2-3 sesi latihan. Jika tidak sempat lari olahraganya wajib diganti dengan sesi leg day. Lalu di akhir pekan saya wajib bersepeda uphill dengan elevasi di atas 500 meter. Semakin mendekati hari keberangkatan bahkan intensitas latihannya ditambah. Bukan hanya asal bersepeda tapi juga harus membiasakan diri bersepeda di berbagai cuaca dengan total elevasi minimal 1000 meter. Maka jangan heran kalau saya baru start bersepeda pada pukul 10 pagi bahkan pukul 2 siang. Nggak peduli meski cuaca lagi panas terik atau hujan deras, saya tetap melaju di atas sepeda. Karena cuaca seperti itu pula yang harus saya hadapi di perjalanan Bogor-Bandung-Bogor nanti.

Sepeda kesayangan saya si Beast

Nggak cuma pesepedanya saja yang harus upgrade stamina dan endurance, sepeda yang kami tunggangi juga harus di-upgrade supaya dalam kondisi prima dong. Bagian ini yang lumayan menguras kantong (suami), wkwkwkwk... Apalagi sepeda saya juga butuh sepasang ban baru, karena saya trauma pernah kecelakaan di akhir tahun 2022 saat memakai ban sleek ukuran 700 x 28. Untuk perjalanan ini demi alasan keamanan ban saya diganti menjadi ban gravel ukuran 700 x 35. Berat? Lumayaaan... 😌 Biasanya bisa ugal-ugalan di jalanan aspal pakai ban botak, mendadak jadi lelet karena harus pakai ban semi gondrong. 😂 

Sepeda kesayangan suami, yang saya malah lupa siapa namanya 😂

Kurang lebih seperti itulah penampakan sepeda kami berdua. Iya, kelihatan gak adil ya karena bawaan sepeda saya jauh lebih sedikit dibanding sepeda suami? 🙈 Masalahnya barang bawaan sudah ditanggung sebagian besar sama suami aja saya masih keteteran di tanjakan. Gimana ceritanya kalau saya disuruh bawa barang sama banyaknya? 😂

Lalu, barang-barang apa saja yang kami bawa untuk perjalanan selama 3 hari 2 malam ini? Kalau boleh saya breakdown, kurang lebih ini daftar barang yang kami bawa dan kami pakai:

1.   Jersey yang dipakai saat berangkat

2.   Jersey untuk dipakai tidur

3.   Jersey untuk dipakai pulang

4.   Vest 2 buah

5.   Helm sepeda 2 buah

6.   Pakaian dalam 2 pasang

7.   Kaus kaki 2 pasang

8.   Legging panjang

9.   Celana pendek

10. Rok pendek pelapis bib

11. Jilbab pendek

12. Bib panjang

13. Bib pendek

14. Mukena travel

15. Sarung

16. Handuk kecil

17. Peralatan & perlengkapan mandi

18. Sajadah travel

19. Lampu depan 2 buah

20. Lampu belakang 2 buah

21. Bidon 4 buah

22. Cyclocomp 2 buah

23. Sarung tangan 2 pasang

24. Jas hujan 2 buah

25. Kacamata sepeda 2 buah

26. Sandal hotel 2 pasang

27. Ban dalam cadangan 2 buah

28. Sport watch 2 buah

29. Patch kit & tool kit

30. Rain cover

31. Pelumas rantai sepeda

32. Charger HP 2 buah

33. Sport gel & energy bar 

34. Frame bag ukuran 4L

35. Saddle bag ukuran 10L

36. Saddle bag ukuran 1,5L

37. Handlebar bag sedang & kecil

38. Top tube bag

39. Uang tunai secukupnya

40. Kartu ATM & KTP

 

Barang bawaan kami selama 3 hari 2 malam

Well, segitu dulu kayaknya yang bisa saya share seputar persiapan Tour de Bandung. Di tulisan berikutnya akan saya lanjutkan cerita seputar suka duka yang lebih sering saya alami ketimbang suami, wkwkwk... See you later!

Share:

Melestarikan Tradisi Keluarga Tahunan di Bukit Surya Salaka

Well, it's a little bit late but I'm trying to keep this tradition on track. Yep, it's family camping timeeee!

Puncak Gunung Salak dari Alun-alun Kuta Genggelang.

Tahun lalu kami sekeluarga camping pertama kali dalam rangka merayakan ulang tahun anak kami. Saat itu perlengkapan kemah yang kami punya hanya tenda, selebihnya kami pakai alat-alat seadanya di rumah. Lesson learned, pelan-pelan kami mengumpulkan perlengkapan camping lainnya agar liburan kami ke depannya jauh lebih nyaman. Waktu itu kami sudah bertekad akan berkemah setidaknya 1-2 bulan sekali. Namun ternyata setahun ke belakang so many things happened di luar kuasa kami. :')

Setelah berkali-kali menunda, akhirnya kami bisa kembali berkemah akhir bulan lalu. Kali ini kami menjajal sebuah camping ground di kaki Gunung Salak yang terletak di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Untuk sampai ke lokasi, ada beberapa alternatif jalur yang bisa kita lewati, yakni lewat Dramaga-Ciampea, atau lewat Ciherang-Ciapus. Sebagai orang Bogor yang udah khatam betapa jahanamnya kemacetan di Dramaga, kami memilih lewat jalur Ciherang-Ciapus. Memang jalannya lebih kecil, tapi setidaknya ngga perlu melewati kemacetan di Dramaga.

Suasana Bukit Surya Salaka di sore hari menjelang petang.

Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 12.30, iya terlalu siang memang. Itu kesalahan kami yang pertama. 😂 Kami pikir perjalanan hanya memakan waktu 90 menit, jam 2 siang sudah sampai di lokasi dan langsung bangun tenda. Ternyataaaa.... di jalan banyak banget hambatannya. Beberapa kali kami harus mampir dulu karena ada perlengkapan yang belum ada. Terlebih lagi kami (saya doang sih tepatnya) dikejutkan dengan jalur Ciapus yang kelewat rolling dengan gradient tanjakan dan turunan di luar nalar. Sekarang saya paham kenapa Google Maps lebih merekomendasikan jalur Dramaga-Ciampea yang ruas jalannya lebih lebar dan gradient tanjakan yang lebih bersahabat buat sobat fobia ketinggian macam saya. Alhamdulillah kami tiba di lokasi dengan selamat saat adzan Ashar berkumandang, beruntung suami saya nggak fobia ketinggian kayak istrinya dan juga highly skilled driver. Kalau saya yang harus duduk di belakang kemudi bisa-bisa saya mundur lagi kayaknya daripada harus melanjutkan perjalanan dengan jalur seperti itu. 😂

Suasana malam hari di Bukit Surya Salaka yang semakin syahdu dengan lampu hias. ✨

Bukit Surya Salaka terletak di kawasan Gunung Bunder 2, tempatnya bersebelahan dengan Alun-alun Kuta Genggelang yang juga menyediakan area camping ground yang view-nya nggak kalah cantik. Saat kami tiba di sana, area camping sudah terisi hampir 80%. Kami beruntung masih bisa mendapat camping spot dengan pemandangan yang bagus dan masih terjangkau akses listrik. 

Pemandangan city light dari depan tenda kami di malam hari ✨

Setelah tenda berdiri tegak dan barang-barang dari mobil sudah diangkut semua, kami berkeliling untuk melihat-lihat area camping yang lain. Di Bukit Surya Salaka ini, setelah melewati gerbang kita langsung dihadapkan pada area camping reguler di sebelah kira serta area camping VIP di sebelah kanan yang dibatasi oleh jalan masuk mobil. Area camping reguler dibuat berundak-undak di punggung bukit, begitu keluar tenda kita bisa melihat puncak Gunung Salak di sebelah kanan serta pemandangan kota dari kejauhan di sebelah kiri. Di area camping reguler ini ada 2 gubuk yang berfungsi sebagai musholla, namun hanya 1 gubuk yang dilengkapi dengan keran air untuk berwudhu sekaligus mencuci piring.

 

Di seberang area camping reguler, ada area camping VIP yang menyediakan fasilitas tenda glamping lengkap dengan segala perintilannya. Ada dua kolam renang terpisah yang diperuntukkan bagi pengunjung reguler dan juga pengunjung VIP. Tapi kalau boleh jujur, pemandangannya di area reguler jauh lebih juara ketimbang di area VIP. 😅 Oh iya kalau mau tau informasi lebih lengkap tentang fasilitas serta paket yang ditawarkan bisa langsung ke website official Bukit Surya Salaka ya.

Kalau dibandingkan dengan pengalaman kami camping pertama kali dulu, kali ini terasa lebih hangat karena area camping-nya lebih ramai. Kami bahkan sempat mengobrol dengan pengunjung di kavling tenda sebelah yang sengaja menginap 2 malam. Keluarga tersebut memiliki 2 anak yang jadi teman baru anak kami. Berkat mereka, kami juga jadi belajar banyak dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan selama camping untuk dipraktikkan pada camping berikutnya. Wkwkwkwk.... Maklum sepertinya mereka jauuuuh lebih berpengalaman dalam family camping dibandingkan kami yang masih pemula ini.

Gedung pencakar langit di Jakarta yang tampak dari ketinggian 735 mdpl.

Malam harinya sekitar pukul 12.00, kami yang lagi enak-enak tidur langsung terbangun karena mendengar suara angin yang bergemuruh. Asli suaranya keras banget sampai kami takut tendanya bakal terbang tertiup angin. Tidak lama kemudian hujan turun deras sekali disertai petir dan kilat. Ya Allah bener-bener pengalaman yang baru banget lagi camping diguyur hujan sederas itu. Udara yang memang sudah dingin jadi semakin dingin, kami bahkan harus pakai jaket berlapis agar tetap hangat. Kami juga sempat khawatir tendanya bakal bocor atau kemasukan air, namun ternyata tendanya tetap kokoh dan berfungsi dengan baik. Mungkin karena kami masih terlindungi oleh flysheet ditambah skill pasang tenda suami saya yang mumpuni, hehehe....
 
Sawah dan gubuk yang berlatarkan perbukitan hijau 🌲

Pagi harinya kami menyempatkan untuk jalan-jalan ke camping ground sebelah yakni Alun-alun Kuta Genggelang. Dari segi view di sini memang jauh lebih bagus, karena pemandangan kota dan juga gunung Salak nyaris tidak terhalang apapun. Namun di sini tidak semua area camping bisa kebagian listrik. Jadi harus pastikan dulu sebelum memilih kavling tenda ya. Tidak seperti di Kampung Awan yang aksesnya tertutup hanya untuk pengunjung, di camping ground ini warga lokal juga bisa masuk. Memang tidak banyak, tapi ada beberapa pedagang yang menjajakan makanan seperti bubur ayam, pentol bakso, nasi uduk, dll. Kalau kita kehabisan persediaan makanan atau minuman untungnya ada warung di area camping yang bisa kita andalkan. Jadi jangan takut kelaparan kalau ke sini. 😅

Kolam renang umum di area pengunjung reguler.

Oh iya kalau aktivitas untuk anak-anak, di sini ada kolam renang umum dengan tiket masuk Rp15.000,- bisa bolak-balik sepuasnya. Selain itu, bisa juga main ke sungai yang cukup jernih, tapi karena lokasinya agak jauh di bagian bawah bukit kami tidak mendatanginya. Mungkin kalau anak kami sudah cukup besar untuk jalan kaki sendiri kami mau mencobanya.

So far kami cukup puas menginap semalam di sana. Tapi mungkin harus sedikit diperhatikan mengenai ketersediaan air saat pengunjung sedang banyak-banyaknya. Beruntung saya sudah selesai cuci piring dan memandikan anak setelah berenang sebelum pukul 10.00 pagi, di saat semua orang masih bermain di kolam renang. Sekitar pukul 12.00 air di kamar mandi sedikit sekali keluarnya. Semua pintu kamar mandi juga terisi jadi kita harus bersabar menunggu. Mungkin akan lain ceritanya kalau kami memilih berkemah bukan di akhir pekan ya.

Foto keluarga kilat sebelum tendanya kami bongkar lagi😅

Apakah perjalanan ini worth it? Ya, tentu saja. 😊

Saya dan suami sudah bertekad akan menjadikan kegiatan berkemah sebagai agenda rutin keluarga, bukan hanya saat ini atau pada momen spesial saja. Tapi juga seterusnya meski anak kami sudah beranjak dewasa. Karena saat seorang anak tumbuh besar, ada orangtua yang juga bertambah usianya. Itu sebabnya kami ingin mengumpulkan kenangan berharga sebanyak-banyaknya.

Itulah tradisi keluarga kami. Apa tradisi keluargamu?

Our little family and the great Salak mountain 🌄 

[]
Share:

Something in Common


Memutuskan untuk keluar dari circle yang sudah tidak sejalan dengan kita, itu gapapa banget. Seriously. I already did that many times before. Mungkin saran ini tidak selalu berlaku untuk semua orang. Bagi sebagian orang, memiliki attachment dengan banyak circle itu kebutuhan pokok. Bagi saya, nggak perlu banyak-banyak, asalkan berkualitas.

Prinsip ini yang sudah lamaaa banget saya pegang sejak SMA. Saya cuma punya sedikit orang yang bisa disebut teman, jauh lebih sedikit lagi yang bisa disebut sahabat. Sisanya, saya lebih suka menyebutnya 'kenalan'. Iya kenalan, karena yang saya tahu hanya sebatas nama dan sedikit sekali informasi. Semakin sedikit saya tahu tentang mereka, semakin sedikit juga yang perlu mereka tahu tentang saya.

Itu sebabnya saya hanya bisa dekat dengan circle baru ketika kami masih punya kepentingan yang sama. Teman kuliah hanya akan dekat dengan saya saat kami masih kuliah di tempat yang sama hingga beberapa tahun setelahnya karena masih ada waktu untuk reuni kecil-kecilan. Rekan kerja pun hanya akan dekat dengan saya saat kami masih bekerja di tempat yang sama. Setelah kami sudah tidak memiliki something in common, renggang pulalah hubungan kami. Bagi saya itu bukan masalah besar, itu hal yang normal kita alami seiring bertambahnya usia.


“Solitude matters, and for some people, it's the air they breathe” ― Susan Cain
Share:

Bermalam di Kampung Awan Megamendung


Bulan Mei kemarin, beberapa minggu sebelum ulang tahun si anak kecil, entah dapat ilham dari mana tiba-tiba suami ngajak liburan di camping ground. Padahal kami nggak punya peralatan berkemah sama sekali, terlebih lagi kami juga nggak ada pengalaman berkemah membawa anak kecil. Tapi suami terus meracuni dengan video-video di Youtube soal Kampung Awan, sebuah camping ground khusus keluarga yang terletak di kawasan Megamendung, Puncak. Saya pun akhirnya termakan bujuk rayu dan memberi lampu hijau. 😌 Tadinya kami berencana mau memberi balance bike sebagai kado ulang tahun kedua, tapi kemudian suami berubah pikiran. Katanya masih terlalu dini, nanti aja kalau mau ulang tahun yang ketiga. Hmmm, baiklah.... Akhirnya budget yang sudah disiapkan untuk balance bike kami alokasikan untuk membeli perlengkapan dasar berkemah.

Dengan budget seadanya, kami prioritaskan untuk membeli tenda berkapasitas 3 orang. Tadinya kami mau pinjam tenda milik teman suami, tapi setelah dicoba, tenda dengan kapasitas 2 orang terlalu sempit untuk kami tempati bertiga. Selain tenda, kami juga membeli sleeping bag khusus untuk dipakai anak kami, karena kami nggak tau seberapa dingin suhu di malam hari. Prinsip kami yang penting anak nyaman & hangat, kalau untuk saya dan suami sih masih bisa pakai jaket dan selimut.


Selain tenda dan sleeping bag, peralatan berkemah yang kami bawa pun masih ala kadarnya banget. Untungnya suami punya kompor gas kecil bekas jaman bujang waktu dia masih ngekost. Tenda kami bahkan belum dilengkapi dengan alas tenda dan flysheet. Kami hanya menggunakan alas piknik untuk melindungi tenda agar tidak langsung kena tanah. Tapi kalau sampai hujan, wah panik lah kami, soalnya hanya tenda yang bisa kami jadikan tempat berlindung.

Agar terhindar dari kemacetan dan buka tutup satu arah di jalur Puncak, kami berangkat setelah sholat Jumat dan tiba di Kampung Awan sekitar pukul setengah empat sore. Syukurlah saat kami tiba di sana, hujan deras baru saja berhenti. Kami disambut oleh penanggung jawab lapangan di Kampung Awan yang kami panggil si Om. Sore itu area perkemahan tidak terlalu penuh, hanya ada sekitar 5 mobil yang tersebar di area perkemahan. Iya, karena konsepnya family camping ground, kita bisa mendirikan tenda persis di sebelah mobil. Gak perlu khawatir barang-barang dan makanan mau ditaruh di mana, semua aman tersimpan di mobil.


Menurut penuturan penanggung jawab lapangan, seluruh area camping ground ini bisa menampung hingga 1000 orang. Fasilitas yang ditawarkan pun sangat lengkap. Ada aula besar yang bisa jadi tempat berteduh jika terjadi hujan badai, ada kolam renang, toilet dan kamar mandi, ada juga musholla dan tempat wudhu. Selain itu juga ada beberapa area yang dilengkapi colokan listrik dan lampu outdoor. Jadi kalau berencana menginap di sini, jangan lupa membawa kabel gulung supaya kita nggak perlu khawatir kekurangan sumber listrik. Gambar di bawah ini menunjukkan area perkemahan yang letaknya lebih rendah. Pepohonan pun nampak berjajar rapi dan tumbuh subur, semakin menambah keindahan juga hawa sejuk di area perkemahan. Pasti bakal seru mengadakan acara family gathering di tempat ini!


Terus, gimana kalau mau camping tapi nggak punya tenda atau peralatan berkemah lainnya? Nggak perlu khawatir, karena Kampung Awan menyediakan berbagai pilihan paket liburan. Meski udah ada paket yang menyediakan tenda, kami tetap memutuskan untuk membeli tenda dengan pertimbangan ke depannya kami akan lumayan sering berkemah. Jadi kami memilih paket Reguler A seharga Rp100.000,-/orang per malam. Dengan harga segitu sudah termasuk sewa tempat untuk tenda sekaligus mobil, air mineral galon, colokan listrik di dekat tenda, lampu outdoor, akses kolam renang dan kamar mandi, serta aula untuk berlindung pada situasi darurat. Kalau dibandingkan dengan area perkemahan lain, mungkin biaya Rp100.000,- terasa sedikit mahal. Namun percayalah begitu sudah merasakan pengalaman menginap di Kampung Awan, harga tersebut sebanding dengan fasilitas dan pelayanan dari para kru lapangan yang bertugas. Mereka sangat sigap membantu sejak kami tiba di sana. Bahkan tanpa harus kami minta, mereka menanyakan langsung apa kami butuh dibantu untuk mendirikan tenda. Pokoknya selama di sana kami merasa aman dan nyaman meski tidur di bawah langit. Nah kalau mau tahu pilihan paket lain yang lebih lengkap, bisa dilihat pada brosur di bawah ini.


Meski area perkemahan ini cukup luas, perlu kami tekankan bahwa di masa pandemi seperti ini alangkah bijaksana kalau kita memilih hari kerja ketimbang di akhir pekan. Karena di akhir pekan pengunjung yang datang berkali lipat dari hari Jumat saat kami baru tiba dan agak sulit untuk menjaga jarak. Dalam kondisi ramai seperti itu juga pasti akan sulit memilih lokasi strategis, mau tidak mau kita hanya bisa memilih area yang kosong. Lain halnya kalau kita datang di hari kerja, mau pilih lokasi di manapun masih leluasa.


Oh iya, kalau bisa selama di Kampung Awan sempatkan juga untuk berkeliling ke bagian lain dari area perkemahan. Karena area perkemahan ini cukup luas, kami berjalan cukup jauh hingga ke bawah bukit. Tadinya kami kira, bagian bawah bukit itu sudah bukan area Kampung Awan lagi, tapi ternyata areanya memang seluas itu. Jika cuaca cerah dan tidak berkabut, dari tepi bukit seharusnya kita bisa melihat ke area Bogor kota. Namun siang itu cuaca kurang cerah jadi pemandangannya pun tertutup awan.


Gimana, tertarik untuk merasakan pengalaman seru berkemah di Kampung Awan? Buat yang ingin tau lebih lanjut, bisa hubungi langsung penanggung jawab lapangannya Om Adiarta di nomor 0811954533, atau bisa juga lihat galeri foto di akun Instagram mereka. Selamat berlibur![]
Share:

(Tidak Ada) Hobi yang Terlambat

Wow, nggak terasa 2020 udah berjalan separuhnya, dan hampir 5 bulan blog ini hiatus tanpa tulisan terbaru mengenai apapun. Terus terang aja, saya kesulitan menemukan waktu untuk menulis. Jangankan menulis, memikirkan apa yang hendak saya tulis aja saya hampir nggak ada waktu. Padahal udah hampir setahun lho saya resmi menyandang status sebagai ibu rumah tangga. Memangnya, sesibuk apa sih seorang ibu rumah tangga sampai-sampai menulis satu halaman aja nggak mampu?

Weits, jangan coba-coba kalian utarakan pertanyaan keramat itu kepada para ibu rumah tangga ya, kalau nggak mau dilempar pakai seember baju kotor, setumpuk cucian piring, seonggok sampah yang belum diangkut, sisa makanan semalam yang nggak habis dimakan, atau belanjaan yang belum disimpan rapi pada tempatnya. Yes, we are THAT busy if you really want to know. Mungkin kelihatannya yang kami lakukan itu hanya hal remeh temeh. Tapi hal remeh temeh jika dikumpulkan menjadi satu dan diakumulasi sepanjang hari, percayalah yang kami lakukan itu nggak bisa disebut CUMA. :)

Jauh sebelum saya menyandang status sebagai istri sekaligus ibu, saya hanyalah gadis biasa yang senang menghabiskan waktu dari balik lensa kamera, sesekali saya suka membaca buku sendirian di pojokan kedai kopi, sekali waktu saya suka jalan-jalan sendiri di trotoar atau taman kota yang cantik. Sekarang? Hidup saya berputar pada poros yang sama, 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Baju yang saya pakai nggak jauh dari baju rumahan yang itu-ituuuu terus. :) Kadang kalau lagi mejeng di halaman bersama anak bayi dan melihat tetangga saya sesama ibu-ibu yang berpakaian rapi, saya sedikit iri. Kapan ya saya bisa berdandan rapi lagi untuk diri saya sendiri?

Berhubung pertanyaan itu belum mampu saya jawab, saya pun mencoba melihatnya dari sudut pandang baru: nggak apa-apa kalau saya belum bisa berdandan rapi untuk diri sendiri, setidaknya saya bisa mempercantik rumah agar nyaman ditinggali.

Pucuk merah, si cantik yang nggak manja.

Dulu, saya paling benci sama yang namanya bercocok tanam. Bukan berarti saya nggak suka lihat pemandangan yang hijau-hijau ya, justru saya suka banget. Tapi saya paling nggak mau kalau disuruh turun tangan dan mengerjakan sendiri. Eeewww... Alasan terbesarnya karena saya takut banget sama cacing tanah. Sekarang ngerti kan kenapa saya nggak suka bercocok tanam? 🙂

Setelah punya rumah sendiri, saya dihadapkan pada kenyataan bahwa punya halaman yang cantik itu, cost-nya besar. Nggak cuma dari segi materi, tapi juga waktu dan tenaga yang harus dicurahkan untuk menjaga halaman saya senantiasa cantik dan enak dipandang. Ternyata, kami nggak sanggup melakukan semuanya. Halaman yang sudah kami percantik dengan rumput gajah, krokot merah, pucuk merah, dan bunga airis, lama kelamaan terkikis rumput liar dan bentuknya pun semakin nggak beraturan.

Tembok depan rumah yang ambruk diterjang hujan badai.

Apalagi di awal tahun 2020 dinding pembatas halaman bagian depan ambruk diterpa hujan besar. Sebelum longsornya makin parah, kami memutuskan langsung membangun pagar sekaligus merenovasi garasi dan teras. Proses renovasi yang berlangsung hampir sebulan, makin meluluhlantakkan halaman kami yang cuma seuprit itu. Tanaman-tanaman kecil hancur tak bersisa, entah karena terinjak para tukang atau tertimbun pasir dan batu. Pokoknya setelah proses renovasi selesai, tanaman yang tersisa cuma 2 pohon pucuk merah yang tingginya sudah mencapai 2 meter lebih serta 3 buah pot tanaman lidah mertua yang terbukti impossible to kill.


Lidah mertua, si paling tangguh di segala kondisi.

Sejak suami saya bekerja dari rumah karena pandemi, kami jadi punya banyak waktu luang untuk menata ulang rumah. Meski sempat kapok dan berucap nggak akan mau beli tanaman lagi, pada akhirnya tangan kami gatal juga. 😅 Sadar diri kalau saya takut cacing, saya memutuskan untuk memelihara tanaman di media pot gantung. Udah jelas kan, pot gantung letaknya pasti jauh dari tanah gak mungkin para cacing itu mampu bermigrasi ke dalam pot. 🤪 Hal lain yang juga saya sadari, wawasan saya seputar dunia flora masih sangat sedikit, walaupun saya jebolan kampus pertanian di Bogor. 🙈 Maka saya pilih jenis tanaman yang paling low maintenance. Dari berbagai sumber yang saya baca, keluarga sirih gading bisa jadi pilihan bagi mama plants pemula.

Sirih gading brazil, yang paling bongsor di antara saudara-saudaranya.

Selain sirih gading, saya juga naksir tanaman lee kuan yew, alias janda merana. Saya pertama kali melihat tanaman ini lewat foto salah satu hotel di Jogja yang nuansanya serba hijau. Saya kebayang pasti cantik banget kalau tanaman ini ada di rumah, batangnya menjuntai seperti tirai.

Pucuk daun lee kuan yew di pekarangan rumah kami.

Kenapa sih mau melihara tanaman aja ribet banget pertimbangannya? Padahal kan tinggal ke tukang taman terus pilih mana yang disukai.

Sekali lagi, bagi saya tanaman juga makhluk hidup. Sama halnya seperti ketika memutuskan memelihara binatang, bagi saya memelihara tanaman juga dibutuhkan komitmen serta dedikasi. Saya nggak mau tanaman yang saya bawa ke rumah berujung kering dan mati karena saya nggak sanggup menjaga komitmen untuk merawatnya sepenuh hati. Itu sebabnya saya mengumpulkan referensi sebanyak mungkin tentang karakteristik tanaman yang hendak saya adopsi.

Sirih gading variegata, salah satu anak-anak hijau yang kami pelihara.

Singkat cerita, setelah satu bulan mengadopsi keluarga sirih gading serta lee kuan yew dan ternyata mereka baik-baik saja (at least nggak ada yang mati 😅), saya dan suami memberanikan diri untuk menambah koleksi anak-anak hijau kami. Kini di pekarangan rumah kami ada tambahan 3 pohon pucuk merah yang masih remaja, berjajar di halaman samping dengan harapan kalau udah setinggi kakak-kakaknya bisa menghalau matahari sore yang lumayan terik dari arah barat. Lee kuan yew yang terbukti nggak rewel dan paling cepat pertumbuhannya dibanding keluarga sirih gading akhirnya bikin saya yakin untuk menambah 5 pot sekaligus. 😅 Meski belum ada fotonya, saya juga mengadopsi lili paris yang kalau udah gondrong saya yakin bakal cantik banget. Ada juga si cantik airis kuning yang ditanam memanjang di dekat tembok pagar. Kami sengaja menanam kembali airis kuning karena dia termasuk tanaman yang mati saat proses renovasi dulu. Padahal waktu lagi ranum-ranumnya, bunga kuning bermotif macan tutul ini cantik sekali.

Airis kuning di halaman kami sebelum renovasi pagar.

Senang rasanya kembali punya hobi yang bisa saya tekuni di sela-sela keseharian saya mengurus rumah dan keluarga. Jadi, untuk para ibu di luar sana, nggak ada kata terlambat untuk memulai hobi baru. Kalau orang-orang bilang, "Motherhood is not a hobby, it is a calling."

Yes, it is.

But sometimes mother's need hobbies too, you know. 🙂 To keep our sanity. To let us stretch a little bit so we can take care our family with lots of love.[]
Share:

Pengalaman Sunat Bayi di Omah Sunat: Pagi Sunat Sore Main Kuy!

Halo, akhirnya setelah berbulan-bulan saya baru punya waktu lagi untuk nulis di blog. Maaf kalau hiatusnya kelamaan. 😅 Sebenarnya ada banyak draft tulisan yang saya buat, tapi nggak ada satu pun yang berhasil saya selesaikan. Jadi saya bertekad untuk yang satu ini, harus berhasil saya tulis.

Jadi, jauh sebelum saya melahirkan, saya udah berniat mau menyunat anak laki-laki kami saat ia masih bayi. Saya juga udah berdiskusi dengan suami dan ia pun setuju, karena berdasarkan hasil riset kecil-kecilan kami menemukan bahwa lebih banyak manfaat yang didapat dari menyunat saat bayi. Tapi ketika anaknya udah lahir ke dunia, ealah kok nggak tega. 🤦🏻‍♀️🤣 Padahal kami udah tau bahwa waktu optimal menyunat bayi itu saat periode neonatus. Tapi kami malah menunda-nunda dengan alasan nggak tega. Waktu terus bergulir dan nggak kerasa anak kami udah bisa berguling dan merangkak. Barulah kami ketar-ketir takut dia keburu bisa jalan, lari, dan kabuuur.... 🏃‍♂️💨

Dokter Arif dari Omah Sunat saat melakukan tindakan.

Akhirnya setelah mengumpulkan niat, kami memberanikan diri untuk menyunat anak kami. Pilihan pun jatuh pada Omah Sunat, yang merekomendasikan teknik sunat klamp untuk bayi yang setiap hari memakai pospak. Kebetulan teman suami saya, anaknya juga sunat di sana dengan metode klamp dan dia sangat puas dengan hasilnya. Maka kami pun semakin yakin untuk menyunat anak kami di sana.

Saya menghubungi nomor kontak Omah Sunat untuk registrasi dan langsung mendapat jadwal sunat pada hari Minggu, 26 Januari 2020. Tapi kemudian saya melihat pengumuman di Instagram ternyata mereka sedang mengadakan giveaway sunat bayi gratis di tanggal cantik 2 Februari 2020. Hmmm, setelah pikir-pikir nggak ada salahnya mencoba, siapa tau ini rejeki anak kami. 😅 Selain itu kami juga mempertimbangkan kondisi rumah kami yang saat itu sedang direnovasi, khawatir akan mengganggu waktu istirahat anak kami pasca disunat. Kalau kami undur waktu sunatnya ke awal Februari, insya Allah renovasi sudah selesai dan kondisi rumah pun lebih kondusif. Untungnya, pihak Omah Sunat tidak keberatan saya membatalkan pendaftaran sunat. 🙈 Penantian selama seminggu membuahkan hasil, ternyata program giveaway itu sepi peminat, hanya kami satu-satunya yang ikut serta jadi otomatis kami yang memenangkan giveaway tersebut. Alhamdulillah! Rejeki mah nggak kemana. 🤣

Ruang tunggu Omah Sunat yang dilengkapi permainan untuk anak-anak.

Hari Minggu pagi, rombongan pengantar sunat pun tiba di Omah Sunat. Maklum, anak kami cucu pertama dari dua keluarga, makanya kakek neneknya sama-sama protektif. 💆🏻‍♀️😂 Semua ingin menyaksikan dan mendampingi cucu kesayangannya disunat. Dari sekian banyak orang yang mengantar, hanya sedikit yang bertahan di dalam ruang tindakan, sisanya melipir ke luar ruangan karena nggak tega. Saya juga sebenarnya nggak tega, tapi saya berusaha menguatkan diri demi anak saya.

Saya tahu betul, anak saya paling nggak betah ditaruh di atas ranjang asing. Jangankan ranjang operasi, ditaruh sebentar di atas timbangan posyandu aja dia udah nangis kejer. 💆🏻‍♀️ Jadi kebayang kan waktu dia baru dibaringkan di atas ranjang sementara dokter dan asisten dokter bersiap-siap? Tangisannya menggelegar sampai ke lantai bawah. 💆🏻‍♀️😂

Diajak main mobil-mobilan sama Eyang tapi nggak bisa enjoy, sepertinya udah mulai curiga.

Sebelum melakukan tindakan, dokter Arif yang menangani anak kami memeriksa kondisi anak kami terlebih dulu. Dan ternyata, anak kami nggak bisa disunat dengan metode klamp karena dia kegendutan. 😢☹️ Dokter menyarankan jika ingin mendapat hasil maksimal, sebaiknya menggunakan metode laser dan kami pun menyetujuinya. Dokter juga sempat menunjukkan kondisi di balik kulup penisnya yang dipenuhi kotoran. 😢 Aduh, saya pikir selama ini saya udah cukup telaten membersihkan anak saya, tapi ternyata saya masih kecolongan. Entah apa jadinya kalau kami menunda sunat anak kami, mungkin kotoran yang bertumpuk ini bisa menjadi sumber penyakit. 😰

Dokter dan asisten dokter menyiapkan peralatan dan sebagainya kurang lebih selama 10 menit. Dan selama itu pula kami harus menguatkan hati melihat si anak bayi menangis meraung-raung minta digendong. 😢 Jujur aja saya termasuk ibu-ibu yang lumayan tega sama anak. Saya nggak pernah nangis kalau anak saya disuntik saat imunisasi, bahkan saat lidahnya harus diinsisi karena tongue tie pun saya masih tegar. Tapi di dalam ruangan itu rasanya hati saya ambyar. 😢😭 Saya cuma bisa mengusap-usap kepala anak saya sambil memegang tangannya. Beberapa kali saya mencoba melantunkan shalawat di telinganya tapi tangisan saya malah pecah. 😢 Huhuuu, maafin Bunda ya. Kami tau keputusan ini untuk kebaikannya, tapi melihat anak menangis sampai segitunya rasanya tetep aja sulit. 😭

Saya berusaha menghibur sang bos kecil yang menangis minta digendong :')

Setelah melewati menit demi menit yang terasa panjang, anak saya selesai disunat dan langsung ditenangkan oleh neneknya sementara saya dan suami menghadap dokter untuk diberi informasi terkait perawatan pasca sunat. Kami diberi goodie bag yang berisi obat pereda nyeri, antibiotik, salep, spray antiseptik, kasa steril, dan obat tetes. Luka pasca sunat harus dijaga agar kondisinya tetap lembab namun tidak terlalu lembab. Anak kami boleh mandi satu hari setelah disunat tapi tidak boleh berendam, harus diguyur agar tidak terlalu lama kena air.

Terus terang aja kami belum ada persiapan apapun terkait perawatan pasca sunat laser, karena kami memang berencana akan sunat dengan metode klamp, makanya kami cukup kewalahan. Begitu sampai di rumah, anak kami menangis selama tiga jam. 💆🏻‍♀️ Posisi apapun kayaknya salah, udah digendong sama siapapun kayaknya tetep aja nangis. Yaudah lah ya, kuncinya cuma gendong dan sabar. Lama kelamaan ia pun lelah dengan sendirinya, lalu saya susui dan ia tidur sekitar 1 jam. Begitu bangun, anak kami mulai tampak ceria dan kembali bermain seperti biasa. Sisa-sisa rewelnya masih ada sih, tapi udah nggak kayak pas baru banget pulang dari klinik.

Setelah 15 menit menangis, anak kami mulai lelah dan tertidur.

Karena khawatir penisnya sakit kalau terkena gesekan celana, suami saya membeli celana sunat anak-anak yang batoknya dilepas dan dikecilkan sesuai ukuran bayi. Batok itu lalu dipasang di dalam popok, jadi anak kami bisa leluasa bergerak. Cara ini lumayan berhasil sepertinya. Semalaman dia tidur dengan nyenyak, baru terbangun jam setengah 4 pagi dan langsung ngajak main. 💆🏻‍♀️ Padahal saya udah prepare kalau-kalau harus begadang menemani anak bayi yang menangis. 😂

So far, saya sangat puas dengan pelayanan Omah Sunat dan sangat merekomendasikan kepada orangtua yang masih bingung hendak menyunatkan anak mereka di mana. Dokter dan stafnya sangat ramah dan komunikatif, ruang praktiknya pun bersih dan ada permainan anak-anak di ruang tunggu. Sebagai pemenang giveaway sunat bayi di tanggal cantik, saya merasa harus turut serta membangun kesadaran masyarakat tentang berbagai manfaat sunat bayi. Karena saya pun menyadari masih banyak orangtua (terutama kakek dan nenek sih 🙈) yang menentang sunat bayi dengan alasan nggak tega. Tapi bagi saya pribadi, saya malah merasa lebih nggak tega kalau harus menyunat anak saya di usia yang lebih besar, khawatir meninggalkan trauma seperti yang dialami suami saya. Kalau menurut pendapat Dokter Apin yang saya kutip dari website Parentalk, manfaat menyunat saat bayi antara lain: mengurangi resiko infeksi saluran kemih (ISK), melindungi bayi dari resiko infeksi jamur, resiko komplikasi pembedahan lebih rendah, resiko komplikasi bius lebih rendah, prosedur sunat yang lebih mudah, serta mencegah ketakutan disunat di kemudian hari.

Isi goodie bag berupa perlengkapan untuk perawatan pasca sunat

Ketika saya membagikan pengalaman menyunat anak kami yang masih bayi, Instagram saya dipenuhi pertanyaan dari teman-teman yang juga punya anak laki-laki namun belum disunat. Saya berusaha menjawab semampu saya dan memberikan testimoni sejujur-jujurnya. Semoga lebih banyak lagi orangtua yang memiliki kesadaran tentang manfaat menyunat bayi.[]
Share: